Sunday, March 31, 2013

Sepakbola, Kepahlawanan dan Remeh Temeh Lainnya


Menyimak narasi-narasi dunia persepakbolaan maka kita akan sering menemui ungkapan-ungkapan yang bernada heroik-penuh rasa kepahlawanan (epik). Seolah sepakbola adalah sebuah perjuangan untuk mewakili sebuah ideologi tertentu, pandangan hidup tertentu, atau demi sebuah nilai yang berharga.

Dalam banyak kasus hal ini bisa dimaklumi. Ambil salah satu contoh yang paling gampang, Barcelona. Klub ini lahir sebagai salah satu sarana ungkapan perlawanan rakyat Catalunya terhadap penjajahan Spanyol. Menggunakan Barcelona, warga Catalunya mencoba menunjukkan bahwa mereka lebih superior dibandingkan dengan penjajah Spanyol yang dipersonifikasikan sebagai Real Madrid. Kita tahu, Real Madrid adalah klub yang didukung kalangan ningrat Spanyol dan juga penguasa otoriter Jendral Franco di masa lalu.

Karenanya, bagi warga Catalunya, siapapun 11 pemain yang turun ke lapangan atas nama Barcelona adalah pahlawan mereka. Mereka yang akan mewujudkan superioritas Catalunya atas Spanyol. Kalaupun Real Madrid ternyata unggul di lapangan, setidaknya dalam masa 2 x 45 menit, rakyat Catalunya bisa meluapkan semua sumpah serapah sejarah kebencian mereka kepada penjajah Spanyol.



Contoh lain, Napoli dan Maradona. Mengapa Maradona begitu didewakan -- dipahlawankan -- di Napoli (dan dalam batas tertentu Italia selatan) dan "direndahkankan" di Italia utara? Bukan rahasia bahwa Italia utara -- dengan dua kota terbesarnya Milano dan Turino -- yang kaya raya, maju dan menguasai pemerintahan menganggap Italia selatan (dengan Napoli sebagai kota terbesarnya) yang miskin sebagai beban yang merepotkan. Secara demografis Italia utara merasa lebih "murni" kulit putih karenanya berderajat lebih tinggi ketimbang Italia selatan yang campur baur khas kawasan Mediterania.

Maradona membawa Napoli menjadi klub pertama Italia selatan yang menjuarai Serie A di tahun 1986/87 dan mengulanginya lagi tahun 1989/90. Maradona seperti mewakili Italia selatan untuk mengatakan kepada Italia utara, "persetan dengan semua kekayaan dan sikap rasismu!" Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah (pendukung) klub-klub besar dari utara seperti AC Milan, Inter Milan dan Juventus terpaksa diam. Maradona juga membawa Napoli menjadi juara Piala UEFA 1988/89.

Sebegitu berpengaruhnya Maradona dan bencinya Napoli dengan Italia utara sehingga ketika Argentina bertemu Italia di semifinal Piala Dunia 1990, yang kebetulan berlangsung di Stadion San Paulo, kandang Napoli, kita tahu ke mana kota itu berpihak. Napoli untuk satu hari saja memberontak dari Italia -- dan berpesta ketika Italia tersingkir.

Apakah dengan perlawanan itu sekarang Barcelona memisahkan diri dari Spanyol atau Napoli dengan pemberontakan itu dari Italia? Tentu saja tidak. Tetapi kita, umat manusia memiliki keunikan dibanding binatang lain yang ada di muka bumi ini. Kita tidak sekadar hidup dalam kungkungan fakta semata tetapi juga imajinasi; tidak sekadar mengandalkan rasio tetapi juga emosi; tidak sekadar memegang aksioma tetapi juga mempertanyakan. Di antara tarik menarik itu manusia menciptakan sebuah ambiguitas, kemenduaan, lewat hal-hal yang sifatnya simbolik.

Di sini, sepakbola adalah simbol itu. Ia memberi kesempatan bagi Catalunya dan Napoli untuk mendua. Mereka, Catalunya dan Napoli, takluk secara politik tetapi sepakbola memberi mereka bualan imajinasi, kepuasan emosi dan kesempatan untuk mempertanyakan hal yang sebelumnya dianggap sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Pahlawan adalah mereka yang memberi kesempatan bagi terciptanya kemenduaan itu.

Kasus semacam Barcelona dan Napoli tidaklah unik. Di Amerika Latin, Balkan dan kawasan Afrika Utara kasus serupa juga banyak. Tetapi seandainyapun narasi-narasi heroik-epik itu muncul dalam kasus yang tidak seekstrim Barcelona dan Napoli, hal ini juga masih bisa dimengerti. Apalagi kalau menyangkut sepakbola internasional, antarnegara, yang kemudian dikait-kaitkan dengan persoalan patriotisme.

Sepakbola pada dasarnya sebuah olahraga yang secara frontal mengedepankan demarkasi perbedaan: kita melawan mereka, satu kelompok melawan kelompok lain, untuk saling mengalahkan dan mengedepankan keunggulan. Perbedaan antara kita dan mereka bisa sangat serius. Namun juga bisa sekadar persoalan perbedaan daerah tempat tinggal, pilihan warna kaus, kelompok pertemanan, jenis pekerjaan atau sekian persoalan remeh temeh lainnya.

Pada saat bersamaan sepakbola juga bisa dimaknai atau dilihat sebagai sebuah upaya penjinakkan insting kebinatangan manusia yang selalu ingin saling mendominasi agar tidak mewujud dalam tindakan fisik (kekerasan). Karena tidak mungkin dimatikan maka insting itu disalurkan lewat penataan dan pelembagaan. Dan sekarang dikemas menjadi barang dagangan yang laris bukan main. Saya bercuriga, sepakbola populer dan laris dijual merupakan konfirmasi bahwa insting kita semua untuk saling mendominasi selalu menyala terang benderang.

Karena namanya juga upaya, bukan berarti kemudian berhasil total. Perkelahian masih ada, tindak kekerasan masih ada, alias perusuh juga masih ada. Tetapi semua relatif bisa dikendalikan.

Bagaimana dengan mereka yang tidak suka sepakbola? Bagaimana dengan belahan dunia di mana sepakbola tidak populer? Ya tidak bagaimana-bagaimana. Dan juga tidak apa-apa. Mereka punya persoalan sendiri. Mereka punya cara pemecahan sendiri.


===

* Sumber foto: Getty Images
* Akun twitter penulis: @dalipin68



(krs/a2s)

0 comments

Post a Comment